Info Event - Industri seni pertunjukan Indonesia sedang menggeliat. Di berbagai penjuru kota, panggung-panggung teater bermunculan. Dari jalanan hingga gedung megah, seni kembali menemukan penontonnya. Namun di balik riuh tepuk tangan dan sorot cahaya, ada yang tak terlihat: praktik korupsi yang membelit, menghimpit ruang gerak para seniman muda yang ingin berkarya dengan jujur dan bermartabat.
Fenomena inilah yang coba disuarakan oleh para mahasiswa Program Studi Performing Arts Communication dari LSPR Institute of Communication and Business. Melalui film pendek musikal berjudul "Karya Untuk Negeri", mereka mengangkat realita pahit yang selama ini jarang tersorot: bahwa seni pun kerap menjadi korban sistem yang korup.
Diproduksi oleh Waka Waka Production, film berdurasi 45 menit ini diputar perdana pada 3 Juli 2025 di CGV Central Park, Jakarta, disaksikan langsung oleh 300 tamu undangan. Dari balik layar, tercatat 20 pemeran dan 60 kru profesional yang terlibat. Cerita berpusat pada Diandra, seniman muda idealis yang berusaha mewujudkan mimpi membuat pertunjukan teater bersama anak-anak dari rumah singgah. Namun jalan yang ia tempuh tak mudah, penuh dengan pungutan liar, tekanan dari pihak tak berintegritas, dan dilema moral yang mengguncang hubungannya dengan sang kekasih, Adrian, seorang jurnalis yang mendorong kompromi demi kelangsungan pertunjukan.
Lebih dari sekadar kritik sosial, Karya Untuk Negeri adalah karya kolaboratif yang inklusif. Anak-anak dari Taman Anak Pesisir, komunitas belajar dan seni di Kalibaru, Jakarta Utara, turut dilibatkan. Di bawah pendampingan seniman jalanan Aceng Gimbal dari Yayasan Sanggar Seni Trotoar, mereka ikut menghidupkan panggung cerita yang sarat makna ini.
“Bagi kami, ini bukan sekadar tugas akhir,” kata Amelia Angeliqa Hadinata, penulis sekaligus sutradara film. “Ini bentuk cinta terhadap seni dan pernyataan bahwa kami, generasi muda, ingin industri kreatif tumbuh di atas kejujuran dan integritas.”
Iklan
Dosen pembimbing Mikhael Yulius Cobis, M.Si., M.M., menilai karya ini lahir dari proses yang tak hanya artistik, tetapi juga sarat pembelajaran sosial. “Mereka tak hanya menyusun naskah dan adegan, tapi juga menggali makna, menghadapi dinamika tim, hingga berani menyampaikan gagasan yang tajam dan reflektif,” ujarnya. Ia menyebut para produser film, yakni Angel, Ester, dan Cecil, sebagai sosok muda yang mengambil peran aktif dalam mendorong ekosistem kreatif yang lebih sehat.
Karya Untuk Negeri bukan hanya pertunjukan musikal. Ia adalah cermin—memantulkan wajah buram dari sistem birokrasi yang selama ini membelenggu pelaku seni. Diandra dan Adrian bukan sekadar tokoh fiktif, mereka mewakili suara banyak seniman muda yang terus bergulat antara idealisme dan kenyataan.
Film ini akan dirilis secara luas melalui YouTube dan Spotify, agar bisa menjangkau lebih banyak penonton di seluruh Indonesia, terutama generasi muda dan komunitas seni. Lewat medium seni, para mahasiswa LSPR ini tidak hanya berbicara, tapi juga menggugah: Haruskah karya tunduk pada sistem yang tidak adil? (*)