Mitos Muharram dan Suro Bulan Sial, Benarkah? Simak Penjelasan Menyejukkan Buya Yahya

5 hours ago 2

Liputan6.com, Jakarta - Nama bulan Suro selalu membawa nuansa mistis di kalangan masyarakat Jawa. Dianggap sebagai waktu penuh pantangan, banyak yang menunda hajatan pernikahan, enggan bepergian jauh, bahkan menghindari aktivitas penting lainnya. Padahal secara kalender Islam, Suro sejatinya bertepatan dengan bulan Muharram, salah satu bulan mulia dalam syariat Islam.

Tradisi turun-temurun ini kerap dikaitkan dengan keyakinan bahwa Suro adalah bulan sial. Kepercayaan tersebut bukan hanya bertahan di pedesaan, tetapi juga masih banyak dipercaya sebagian masyarakat urban.

Hal ini pun menjadi pertanyaan yang sering muncul dalam forum-forum kajian keislaman, termasuk dalam majelis pengajian yang diasuh oleh KH Yahya Zainul Ma’arif atau Buya Yahya.

Dalam salah satu tayangan kajian di kanal YouTube Al Bahjah TV, yang dikutip Senin (23/06/2025) seorang jamaah bertanya langsung kepada Buya Yahya tentang anggapan yang menyebut bulan Suro alias Muharram sebagai bulan keramat yang identik dengan bahaya dan kesialan.

Menanggapi pertanyaan itu, Buya Yahya menegaskan bahwa tidak ada bulan yang buruk dalam Islam. Justru, seluruh bulan adalah ciptaan Allah yang penuh keberkahan.

Adapun keyakinan bahwa ada waktu tertentu yang membawa sial, menurutnya, bukan berasal dari ajaran Islam, melainkan pengaruh budaya yang keliru.

Simak Video Pilihan Ini:

Tebar Benih Ikan dan Tanam Bibit Jagung Serentak, Dukung Ketahanan Pangan Prabowo

“Semua hari itu baik. Bulan Muharram adalah bulan mulia. Kalau ada yang bilang bulan ini bulan sial, itu keyakinan yang tidak benar, bahkan bisa menyesatkan,” ujar Buya Yahya.

Ia menambahkan, satu-satunya hari yang layak dianggap buruk adalah ketika manusia menggunakannya untuk bermaksiat kepada Allah. Bukan karena posisi tanggal atau nama bulan, melainkan karena perbuatan manusia itu sendiri yang mengotori waktu yang Allah muliakan.

Buya Yahya juga mengingatkan bahwa bulan Muharram termasuk dalam empat bulan haram dalam Islam. Dalam Al-Qur’an dan hadis, keempat bulan ini dijelaskan sebagai waktu yang dihormati dan dijaga dari perilaku dosa serta permusuhan.

“Bulan haram itu bukan berarti haram dalam arti buruk. Justru dimuliakan. Kita dianjurkan untuk memperbanyak amal ibadah, bukan malah takut melakukan kegiatan karena mitos,” jelasnya.

Sayangnya, lanjut Buya Yahya, masih banyak orang yang lebih mempercayai omongan dukun atau mitos nenek moyang dibanding nasihat para ulama dan ajaran Rasulullah SAW. Menurutnya, ini menjadi tantangan bagi para dai dan pendidik agama untuk terus meluruskan pemahaman umat agar tidak larut dalam keyakinan batil.

Di sisi lain, bulan Muharram juga memiliki keutamaan lain yang sangat besar. Dalam hadis Nabi Muhammad SAW disebutkan bahwa puasa sunnah paling utama setelah Ramadhan adalah puasa di bulan Muharram. Ini menandakan bahwa bulan tersebut benar-benar memiliki posisi istimewa dalam Islam.

Mari Muliakan Muharram

Selain itu, dua hari di bulan ini sangat disarankan untuk berpuasa, yakni hari Tasu’a (9 Muharram) dan hari Asyura (10 Muharram). Puasa Asyura bahkan diyakini dapat menghapus dosa setahun yang lalu.

Banyak kisah sejarah juga terkait dengan bulan ini, seperti kisah hijrahnya Nabi Musa AS dan peristiwa Karbala yang menimpa cucu Nabi Muhammad SAW, Husain bin Ali. Semua itu menunjukkan bahwa Muharram bukanlah bulan kosong makna, apalagi bulan yang layak ditakuti.

Menutup penjelasannya, Buya Yahya mengajak umat Islam untuk meninggalkan anggapan-anggapan negatif terhadap bulan Suro atau Muharram. Ia mengingatkan bahwa keimanan harus dibangun di atas ilmu, bukan tradisi yang tidak berdasar.

“Kalau masih ada yang takut melakukan kegiatan di bulan ini karena takut sial, itu berarti kita telah menomorduakan ajaran agama kita sendiri. Mari kita muliakan Muharram dengan ibadah, bukan dengan larangan tanpa dasar,” pungkasnya.

Penulis: Nugroho Purbo/Madrasah Diniyah Miftahul Huda 1 Cingebul

Read Entire Article
Fakta Dunia | Islamic |