KABAR sedih kembali berhembus dari industri retail. Dalam beberapa tahun terakhir, banyak perusahaan menutup gerainya lantaran berbagai persoalan, mulai dari belum pulihnya daya beli masyarakat pascapandemi Covid-19 hingga kalah bersaing dengan e-commerce. Lagu lama itu berulang, giliran retai-retail asing yang kini berguguran.
Sejumlah asosiasi usaha retail memberi kabar, dua perusahaan yaitu GS Retail asal Korea Selatan dan Lulu Group dari Uni Emirat Arab akan menutup tokonya di Indonesia. GS Retail akan menjual gerai-gerai GS The Fresh di beberapa wilayah kepada The FoodHall yang dikelola oleh grup Mitra Adiperkasa (MAP). Sedangkan Lulu menutup hypermarket, menggantinya dengan supermarket atau toko yang berukuran di lebih kecil.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sebelum dua perusahaan asing ini, ada sejumlah perusahaan retail modern yang menyesuaikan skala bisnis, entah menutup lapak, mencari lokasi baru, atau mengubah model bisnis. Trans Retail, misalnya, menutup gerai Transmart secara bertahap di sejumlah kota. Grup Hero juga menutup hypermarket Giant, menggantinya dengan toko furnitur Ikea. Tak hanya toko-toko besar, minimarket juga ada yang gulung tikar. Grup Alfamart, misalnya, menutup seratusan toko di wilayah tertentu tapi membuka lebih banyak lagi di lokasi lainnya.
Harus diakui jika sangat banyak tantangan yang menghadang laju pertumbuhan industri retaiil. Berakhirnya pagebluk Covid-19 tak serta merta membuat pengusaha retail happy, karena ekonomi belum sepenuhnya pulih. Bahkan, sejumlah otoritas seperti Bank Indonesia hingga Badan Pusat Statistik merekam lesunya daya beli masyarakat yang berkepanjangan. Termasuk pada momen-momen ketika seharusnya konsumsi bertumbuh, seperti tahun baru, Ramadhan dan Idul Fitri. Turunnya daya beli adalah momok paling menakutkan bagi pengusaha retail.
Persoalan lain adalah perubahan pola belanja. Selain lebih suka berbelanja di e-commerce ketimbang toko retail biasa, saat ini banyak konsumen yang menghindari belanja skala besar. Ketimbang membeli makanan dan barang lain secara bulanan, konsumen kini cenderung belanja dalam jumlah kecil. Ini yang menyebabkan toko besar seperti hypermarket dan supermarket merana, sementara pengelola minimarket hingga warung kelontong sedikit berlega hati.
Faktor yang juga membikin pengusaha retail sebal adalah rumitnya perizinan serta "biaya hantu". Ini adalah beban yang seharusnya tak perlu ada, sehingga pengusaha bisa leluasa berbisnis tanpa mengenakan biaya tambahan pada konsumen. Masalah ini pun selama berpuluh tahun tak pernah diselesaikan oleh pemerintah. Maka, alih-alih berekspansi agar bisnisnya mencapai skala keekonomian, retail-retail asing malah memilih pergi dari Indonesia.
Berita Pilihan: