TEMPO.CO, Jakarta - Nilai tukar rupiah melemah di level Rp16.286 per dolar Amerika Serikat pada penutupan perdagangan Rabu, 28 Mei 2025. Nilai tersebut turun 9 poin dibandingkan dengan hari sebelumnya yang tercatat di level Rp16.296 per dolar AS.
Menurut pengamat mata uang Ibrahim Assuaibi, pelemahan rupiah kali ini disebabkan oleh kombinasi faktor global dan domestik, mulai dari ketidakpastian ekonomi Amerika Serikat hingga strategi pemulihan ekonomi dalam negeri yang dinilai kurang menyeluruh.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dari sisi global, kata dia, pasar tengah mencermati kebijakan perdagangan dan fiskal Amerika Serikat, khususnya menjelang pemilu. Presiden AS Donald Trump kembali mengangkat isu tarif perdagangan yang dinilai dapat mengganggu stabilitas ekonomi global.
“Trump sempat menyatakan akan menunda penerapan tarif sebesar 50 persen terhadap Uni Eropa hingga Juli. Tapi ini tetap menimbulkan ketidakpastian, karena bulan yang sama juga menjadi waktu berlakunya tarif balasan AS terhadap negara lain,” kata Ibrahim dikutip dari keterangan tertulis, Rabu, 28 Mei 2025.
Ibrahim mengatakan kondisi ini membuat pelaku pasar berhati-hati. Apalagi di tengah penguatan data ekonomi AS seperti kepercayaan konsumen yang menunjukkan tren positif. “Data ini meredam kekhawatiran terhadap ekonomi AS, namun justru meningkatkan risiko bagi negara berkembang seperti Indonesia,” ujarnya.
Sementara itu, ketegangan geopolitik juga ikut menekan rupiah. Pernyataan Trump yang menuding Presiden Rusia Vladimir Putin “bermain api” serta rencana sanksi baru terhadap Rusia dinilai bisa mengganggu pasokan energi global, terutama minyak.
Di sisi lain, menurut Ibrahim, perundingan nuklir AS-Iran yang kembali mengalami kebuntuan juga dikhawatirkan akan mendorong AS untuk memperketat ekspor minyak Iran. “Kalau ini terjadi, suplai minyak dunia akan terganggu dan memberi tekanan tambahan terhadap negara pengimpor seperti Indonesia,” kata Ibrahim.
Tantangan dari Dalam Negeri
Selain faktor global, tekanan terhadap rupiah juga berasal dari dalam negeri. Ibrahim menilai, peluang Indonesia mencapai target pertumbuhan ekonomi 5 persen pada kuartal II 2025 akan sulit tercapai jika strategi stimulus tidak diarahkan secara merata.
“Stimulus memang penting, dan pemerintah sudah meluncurkan enam paket kebijakan di kuartal ini. Tapi sebagian besar menyasar masyarakat kelas bawah,” katanya.
Menurutnya, fokus pada kelas bawah memang penting untuk menjaga stabilitas sosial. Namun, kontribusi masyarakat kelas menengah terhadap konsumsi nasional sangat besar, lebih dari 50 persen. “Kalau mereka tidak dibantu, potensi perlambatan ekonomi justru semakin besar,” ujarnya.
Ibrahim menyarankan agar pemerintah mulai merancang kebijakan pemulihan yang lebih seimbang, termasuk dengan memberi dukungan kepada kelas menengah dalam bentuk bantuan tunai langsung atau subsidi yang bersifat sementara.
“Dalam kondisi pelemahan ekspor dan tekanan global, Indonesia harus semakin mengandalkan kekuatan konsumsi domestik. Dan di situ peran kelas menengah sangat vital,” kata Ibrahim.