Surplus Neraca Perdagangan April 2025 Hanya US$ 160 Juta, Terendah dalam 60 Bulan

1 day ago 11

TEMPO.CO, Jakarta - Badan Pusat Statistik (BPS) melaporkan neraca perdagangan Indonesia pada April 2025 mengalami surplus sebesar US$ 160 juta atau US$ 0,16 miliar. Meski menjadi catatan surplus beruntun selama 60 bulan, angkanya menyusut signifikan dan merupakan yang terendah sejak April 2020.

Dosen Departemen Ekonomi Universitas Andalas, Syafruddin Karimi, mengatakan penyusutan surplus mencerminkan kombinasi tekanan eksternal dan kelemahan struktural pada sektor perdagangan luar negeri. “Penyempitan surplus perdagangan Indonesia menjadi hanya US$ 160 juta menjadi sinyal kuat ketahanan eksternal ekonomi nasional sedang tertekan serius,” ujarnya, dikutip pada Selasa, 3 Juni 2025.

Pilihan editor: Potensi Monopoli Setelah TikTok-Tokopedia Berkongsi

Perkembangan neraca perdagangan luar negeri tersebut dilaporkan BPS pada Senin, 2 Juni 2025. Syafruddin menyatakan anjloknya surplus pada April jauh di bawah ekspektasi pasar, yakni sebesar US$ 3,04 miliar. Catatan ini juga berbanding terbalik dari paparan BPS di konferensi pers 21 April 2025 lalu, saat neraca perdagangan Indonesia Maret 2025 mengalami surplus sebesar US$ 4,33 miliar atau naik US$ 1,23 miliar dibanding bulan sebelumnya.

Surplus neraca perdagangan merupakan kondisi ketika nilai ekspor suatu negara lebih besar daripada impor dalam periode tertentu. Berdasarkan data BPS yang dipublikasi di laman resminya, nilai ekspor Indonesia pada April 2025 mencapai US$ 20,74 miliar atau naik 5,76 persen dibanding April 2024. Sementara itu, nilai impor pada April 2025 mencapai US$ 20,59 miliar, melonjak 21,84 persen dibanding periode yang sama tahun lalu.

Lonjakan impor sebesar 21,84 persen, terutama dari Cina dan Singapura, menurut Syafruddin mencerminkan gangguan pasokan jangka pendek sekaligus dipicu kebijakan tarif proteksionis Presiden Amerika Serikat, Donald Trump. "Sekaligus menunjukkan ketergantungan tinggi pada barang modal luar negeri,” ucapnya.

Pertumbuhan ekspor yang hanya mencapai 5,76 persen tidak cukup mengimbangi lonjakan impor. Terlebih ketika ekspor produk tambang anjlok lebih dari 20 persen akibat lemahnya harga batu bara dan beban tarif 10 persen dari AS yang mulai berlaku awal April.

Syafruddin berpendapat penyusutan tajam surplus neraca ini tidak bisa dianggap sebagai fluktuasi musiman, perlu transformasi kebijakan perdagangan luar negeri. "Termasuk memperluas pasar ekspor non-tradisional, memperkuat daya saing produk manufaktur, dan merespons agresif praktik dagang diskriminatif melalui diplomasi ekonomi,” ujarnya.

Pilihan Editor: Mengapa Peserta BPJS Kesehatan Nonaktif Terus Bertambah

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Read Entire Article
Fakta Dunia | Islamic |