TEMPO.CO, Jakarta - Para 'calo kasus' di sistem peradilan Indonesia sedang menjalani sidang tuntutan kasus dugaan penyuapan di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta, pekan lalu. Mereka adalah bekas petinggi Mahkamah Agung Zarof Ricar dan pengacara asal Surabaya Lisa Rachmat.
Zarof, yang menyimpan uang hampir Rp 1 triliun dan puluhan kilogram emas di brankasnya, dituntut 20 tahun penjara, sedangkan Lisa menghadapi ancaman pidana 14 tahun penjara.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kasus dugaan suap ini berawal dari bebasnya terdakwa Ronald Tannur dalam perkara pembunuhan terhadap kekasihnya, Dini Sera Afrianti. Kejaksaan kemudian mengungkap 3 hakim yang menangani perkara tersebut, masing-masing Erintuah Damanik, Mangapul, dan Heru Hanindyo, menerima suap Rp4,6 miliar rupiah.
Dari kasus suap ini, perkara melebar sampai ke Ketua PN Surabaya Rudi Suparmono, Zarof Ricar, dan Lisa. Bahkan berkat kasus di Surabaya itu, terungkap pula dugaan penyuapan di Jakarta dalam kasus ekspor sawit yang saat ini ditangani Kejaksaan Agung.
Dalam sidang di Pengadilan Tipikor Surabaya, 26 Mei 2025, terungkap bagaimana awal mula kasus ini. Terdakwa Zarof mempekenalkan Lisa Rachmat kepada Ketua Pengadilan Negeri (PN) Surabaya Rudi Suparmono.
Zarof mengaku sebelumnya tidak mengenal Lisa, dan mengira dia seorang 'calo kasus'. Lisa minta dipekenalkan dengan Wakil Ketua PN Surabaya, namun Zaroh tidak mengenalnya.
Dia lalu menawari Lisa memperkenalkan pada Rudi, yang pernah sama-sama bertugas di Mahkamah Agung.
"Saudara kok nggak menjaga nama baik hakim sampai memperkenalkan Ketua (Rudi Suparmono), padahal saudara tahunya Lisa Rachmat itu calo kasus?," kata hakim anggota Sri Hartati kepada Zarof dalam sidang pemeriksaan saksi di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta, Senin.
Hakim Sri pun terus mencecar pertanyaan mengenai tujuan Zarof mengenalkan Lisa kepada Rudi pada sekitar tahun 2024. Namun, Zarof terus diam dan tidak menjawab berbagai pertanyaan tersebut.
Hakim Ketua Iwan Irawan pun menanyakan hal yang sama kepada Zarof.
"Gimana? Jawab, ini kenapa saudara saksi awalnya mengenal Lisa sebagai calo perkara tetapi malah dikenalkan dengan Ketua Pengadilan. Apa tujuannya?," ucap Hakim Ketua.
Zarof mengaku tidak mengetahui tujuan Lisa saat minta dikenalkan kepada Rudi. Dia lalu mengenalkan Lisa kepada Rudi melalui pesan singkat.
"Ya mungkin dia mau urus perkara, tapi saya nggak tahu apa tujuannya. Saya nggak tahu juga awalnya kalau Lisa itu lawyer, saya pikir dia calo," tutur Zarof.
Zarof bersaksi dalam sidang kasus dugaan suap terkait penanganan perkara terpidana Ronald Tannur dan gratifikasi, yang menyeret Rudi Suparmono sebagai terdakwa.
Zarof Ricar mengatakan, Rudi Suparmono sempat meminta nomor telepon seluler Lisa Rachmat. "Saya Whatsapp Pak Rudi, saya bilang ada yang mau kenal. Pak Rudi tanya siapa? Saya bilang ada namanya Ibu Lisa. Ya sudah lalu Pak Rudi minta nomor HP Lisa," kata Zarof.
"Yang jelas saat itu Pak Rudi bilang kalau mau mengecek nomor hp-nya Lisa untuk tahu siapa dia," tuturnya.
Dalam kasus tersebut, Rudi didakwa menerima suap 43 ribu dolar Singapura atau setara dengan Rp541,8 juta (kurs Rp12.600) terkait kasus suap atas pengondisian perkara terpidana Ronald Tannur dari penasihat hukum Ronald Tannur, Lisa Rachmat.
Pengondisian perkara Ronald Tannur diduga dilakukan Rudi dengan menunjuk Erintuah Damanik, Mangapul, dan Heru Hanindyo sebagai majelis hakim yang mengadili perkara Ronald Tannur, sesuai permintaan Lisa.
Rudi juga didakwa menerima gratifikasi berupa uang dalam bentuk rupiah dan mata uang asing senilai Rp21,85 miliar selama menjadi Ketua PN Surabaya pada periode 2022-2024 dan Ketua PN Jakarta Pusat pada 2024.
Gratifikasi itu meliputi uang senilai Rp1,72 miliar; 383 ribu dolar Amerika Serikat (AS) atau setara dengan Rp6,28 miliar (kurs Rp16.400); serta 1,09 juta dolar Singapura atau setara dengan Rp13,85 miliar (kurs Rp12.600).
Dituntut 20 Tahun Penjara
Zarof Ricar dituntut 20 tahun penjara dan denda Rp1 miliar subsider 6 bulan pidana kurungan terkait kasus dugaan pemufakatan jahat membantu penyuapan pada penanganan perkara Ronald Tannur pada tahun 2024 di tingkat kasasi dan gratifikasi pada tahun 2012–2022.
Jaksa penuntut umum (JPU) Kejaksaan Agung Nurachman Adikusumo mengatakan, Zarof telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana korupsi berupa permufakatan jahat untuk memberikan suap dan menerima gratifikasi.
Selain itu, jaksa juga menuntut agar Zarof dikenakan pidana tambahan berupa perampasan atas barang yang digunakan untuk atau yang diperoleh dari tindak pidana korupsi, antara lain uang pecahan rupiah, dolar Singapura, hingga dolar Hong Kong.
Sebelum melayangkan tuntutan kepada Zarof, JPU mempertimbangkan beberapa hal memberatkan dan meringankan. Hal memberatkan, yakni perbuatan Zarof tidak mendukung program pemerintah dalam rangka penyelenggaraan negara yang bersih dan bebas dari korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN).
Hal memberatkan lainnya, yaitu perbuatan Zarof telah mencederai kepercayaan masyarakat, khususnya terhadap lembaga peradilan serta motif perbuatan Zarof dilakukan secara berulang untuk mendapatkan hasil kejahatan.
"Sementara hal meringankan yang dipertimbangkan, yang ada pada diri terdakwa Zarof, yaitu terdakwa belum pernah dihukum," ucap JPU.
Dalam kasus itu, Zarof didakwa melakukan pemufakatan jahat berupa pembantuan untuk memberi atau menjanjikan sesuatu kepada hakim uang senilai Rp5 miliar serta menerima gratifikasi senilai Rp915 miliar dan emas seberat 51 kilogram selama menjabat di MA untuk membantu pengurusan perkara pada tahun 2012–2022.
Pemufakatan jahat diduga dilakukan bersama penasihat hukum Ronald Tannur, Lisa Rachmat, dengan tujuan suap kepada Hakim Ketua MA Soesilo dalam perkara Ronald Tannur pada tingkat kasasi pada tahun 2024.
Atas perbuatannya, Zarof disangkakan melanggar Pasal 6 ayat (1) huruf a atau Pasal 5 ayat (1) dan Pasal 12 B juncto Pasal 15 jo. Pasal 18 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001.
Lisa Rachmat dituntut pidana penjara selama 14 tahun dan denda Rp750 juta subsider 6 bulan kurungan, serta pidana tambahan berupa pencabutan profesi sebagai advokat, oleh jaksa Nurachman Adikusumo.
Melebar ke Kasus di Jakarta
Kejaksaan Agung sebelumnya mengatakan, kasus dugaan suap hakim yang memberikan putusan lepas atau ontslag kasus korupsi ekspor sawit di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat terhadap Wilmar Group, Permata Hijau Group, dan Musim Mas Group, terungkap berdasarkan barang bukti yang disita dalam kasus suap Ronald Tannur.
Dalam perkara dugaan suap Rp60 miliar ini, Kejaksaan Agung menetapkan 8 tersangka yaitu wakil ketua PN Jakpus Arif Nuryanta dan majelis hakim yang menangani perkara: Djuyamto, Agam Syarif Baharuddin, dan Ali Muhtarom.
Tersangka lainnya, mantan panitera PN Jakpus Wahyu Gunawan, dua pengacara dari korporasi Ariyanto dan Marcella Santoso, serta Head of Social Security Legal Wilmar Group Muhammad Syafei.
Perkara ini melebar dengan kasus dugaan perintangan penyidikan perkara yang diduga melibatkan Direktur Pemberitaan JakTV Tian Bahtiar, dan seorang koordinator tim buzer, M Adhiya Muzakki.