TEMPO.CO, Jakarta - Dua dari empat mantan petinggi Lembaga Pembiayaan Ekspor Indonesia (LPEI) tidak hadir memenuhi panggilan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Padahal, mereka akan diperiksa sebagai saksi dalam kasus dugaan korupsi pemberian fasilitas kredit oleh LPEI.
Dua saksi yang berhalangan hadir itu yakni mantan Direktur Keuangan LPEI periode 2009-2016 Basuki Setyadjid dan mantan Direktur Pelaksana IV LPEI periode 2014-2018 Arif Setiawan. "Saksi BS dan ARS meminta penjadwalan ulang," kata Juru Bicara KPK Budi Prasetyo melalui keterangan resminya, Selasa, 20 Mei 2025.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Budi mengatakan, saksi yang hadir memenuhi panggilan KPK adalah NGS dan DW. Pemeriksaan dilakukan di Gedung Merah Putih KPK. "Saksi didalami proses persetujuan pembiayaan kepada PT. SMJL dan PT. MAS," kata Budi.
Sebelumnya, pada Senin, 19 Mei 2025 KPK memanggil empat mantan petinggi Lembaga Pembiayaan Ekspor Indonesia (LPEI) dalam penyidikan kasus korupsi pemberian fasilitas kredit.
Adapun mantan petinggi LPEI yang dipanggil adalah mantan Direktur Eksekutif Ngalim Sawego, mantan Direktur Pelaksana I Dwi Wahyudi, mantan Direktur Keuangan Basuki Setyadjid, dan mantan Direktur Pelaksana IV Arif Setiawan. Selain mereka, ada pula dari pihak swasta Wied Adi Pratomo dan Yudhi Tri Laksono. Serta pegawai LPEI Yoseph Tri Purnomosidi dan Zulmahdan.
KPK telah menetapkan lima tersangka perkara dugaan tindak pidana korupsi pemberian fasilitas pembiayaan dari Lembaga Pembiayaan Ekspor Indonesia (LPEI). Dua tersangka berasal dari LPEI, yaitu Direktur Pelaksana I LPEI Dwi Wahyudi, Direktur Pelaksana IV LPEI Arif Setiawan, Direktur Pelaksana 4 LPEI. Tiga tersangka lain adalah Presiden Direktur PT Caturkarsa Megatunggal/Komisaris Utama PT Petro Energy Jimmy Masrin, Direktur Utama PT Petro Energy Newin Nugroho, dan Direktur Keuangan PT Petro Energy Susy Mira Dewi Sugiarta.
KPK belum menahan para tersangka karena masih melengkapi alat bukti dalam proses penyidikan perkara. Kerugian negara akibat kasus korupsi itu diperkirakan Rp 11,7 triliun.
Kasus korupsi di LPEI ini bermula dari laporan Menteri Keuangan Sri Mulyani ke Kejaksaan Agung pada Senin, 18 Maret 2024. Berdasarkan penjelasan Sri Mulyani, LPEI membentuk tim terpadu bersama Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP), Jamdatun Kejaksaan Agung dan Inspektorat Jenderal Kemenkeu yang meneliti kredit-kredit bermasalah di LPEI.
Dari hasil penelitian tersebut terindikasi adanya fraud dugaan tindak pidana yang dilakukan oleh empat debitur. “Jadi untuk tahap pertama Rp 2,5 triliun dengan nama debiturnya (perusahaan) RII sekitar Rp 1,8 triliun, PT SMR Rp 216 miliar, PT SRI Rp 1,44 miliar, PT BRS Rp 300,5 miliar. Jumlah keseluruhannya total Rp 2,505 triliun,” kata Jaksa Agung Burhanuddin setelah menerima kunjungan Sri Mulyani di ruang kerjanya, seperti dikutip Antara, Senin, 18 Maret 2024.
Pada 1 Februari 2024, dugaan korupsi di LPEI juga dilaporkan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) ke Kejaksaan Agung RI. Berdasarkan Laporan Hasil Pemeriksaan investigatif ditemukan dugaan penyimpangan berindikasi tindak pidana yang dilakukan oleh pihak-pihak terkait dalam pembiayaan ekspor nasional oleh LPEI kepada debitur yang mengakibatkan terjadinya kerugian keuangan negara sebesar Rp 81 miliar, demikian pernyataan BPK.