Koalisi Masyarakat Sipil: Presiden Seharusnya Mencabut Surat Telegram Panglima TNI

9 hours ago 4

TEMPO.CO, Jakarta - Koalisi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Sektor Keamanan menanggapi terbitnya Peraturan Presiden atau Perpres Nomor 66 Tahun 2025 tentang Pelindungan Negara terhadap Jaksa dalam Melaksanakan Tugas dan Fungsi Kejaksaan Republik Indonesia.

"Perpres 66/2025 tidak urgent dan tidak dibutuhkan," kata Koalisi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Sektor Keamanan dalam keterangan resmi, dikutip pada Jumat, 23 Mei 2025.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Dalam sistem presidensial dan tanpa ada perpres tersebut, kata Koalisi ini, Presiden sesungguhnya dapat memerintahkan Jaksa Agung untuk memperkuat sistem keamanan internal yang dimiliki kejaksaan. Presiden juga bisa meminta kepolisian untuk terlibat dalam bantuan pengamanan.

"Hingga saat ini, belum ada realitas ancaman yang nyata terhadap keamanan nasional terkait dengan kondisi kejaksaan yang mengharuskan presiden membuat perpres," ujar Koalisi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Sektor Keamanan.

Menurut Koalisi ini, kondisi kejaksaan masih dalam keadaan normal menangani kasus-kasus hukum yang ada. Selain itu, tidak ada ancaman militer yang mengharuskan Presiden ataupun Panglima TNI mengerahkan militer ke kejaksaan. 

"Dengan demikian, Perpres 66/2025 tidak memiliki urgensi dan tidak proporsional dalam hal pelibatan TNI," kata Koalisi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Sektor Keamanan.

Koalisi ini memandang, lahirnya perpres tersebut tidak bisa lepas dari masalah Surat Telegram Panglima atau Kepala Staf TNI Angkatan Darat (KASAD) yang mengerahkan hampir 6 ribu personil tentara ke kejaksaan.

Menurut Koalisi, Perpres 66/2025 adalah bentuk kamuflase hukum atas kesalahan Panglima yang mengerahkan pasukan TNI ke Kejaksaan. Sebab, Perpres 66/2025 lahir setelah terbitnya Telegram KASAD. 

Menurut Koalisi ini, penerbitan Perpres 66/2025 adalah model politik fait accompli yang tidak sehat dan berdampak buruk bagi demokrasi. Seharusnya, Presiden mencabut surat telegram tersebut dan bukan malah membentuk Perpres 66/2025. Dalam konteks ini, kata Koalisi, Presiden seolah-olah sedang membenarkan kesalahan Panglima TNI dengan jalan menerbitkan perpres tersebut.

"Praktik kekuasaan dalam menjalankan hukum yang demikian akan berdampak buruk pada negara hukum dan demokrasi," kata Koalisi ini. "Karena kesalahan hukum bukannya dikoreksi, tetapi justru dilegalisasi."

Koalisi mencontohkan, praktik politik semacam ini pernah dilakukan dalam kasus Pengangkatan Letnan Kolonel Teddy Indra Wijaya sebagai Sekretaris Kabinet (Seskab). Kesalahan mengangkat Teddy sebagai Sekretaris Kabinet, justru diikuti perubahan kebijakan dengan terbitnya Perpres Nomor 148 Tahun 2024 tentang Kementerian Sekretariat Negara yang melegalisasi jabatan Seskab dapat diisi prajurit TNI aktif.

"Penerbitan Perpres 66/2025 membuka ruang kembalinya Dwifungsi TNI," ujar Koalisi ini. Sebab, beleid itu membawa milter masuk jauh ke wilayah sipil, yakni ke kejaksaan. Padahal, kejaksaan merupakan aparat penegak hukum, sedangkan TNI adalah alat pertahanan negara yang diatur di dalam konstitusi. Kegagalan untuk memisahkan penegakan hukum dan urusan pertahanan, kata Koalisi, adalah langkah nyata membangkitkan Dwifungsi TNI.

Menurut Koalisi, Perpres 66/2025 tidak menjadikan Undang-Undang TNI maupun Undang-Undang Polri sebagai rujukan pembentukan di dalamnya. Padahal, substansi perpres banyak mengatur tentang pelibatan TNI dan Polri dalam pengamanan kejaksaan. 

Konsideran Perpres 66/2025 hanya mencantumkan Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945 sebagai dasar hukum pembentukan perpres. Sehingga, aturan ini sama sekali tidak menunjukkan kejelasan tentang pengerahan pasukan TNI dalam konteks operasi militer selain perang (OMSP) sebagaimana diatur dalam Pasal 7 UU TNI. Ini tentu berpotensi menimbulkan penyalahgunaan kekuatan militer. Sebab, tidak ada pembatasan yang jelas dan tegas tentang ruang gerak TNI.  

"Perpres 66/2025 tidak sesuai dengan ketentuan hukum, karena menempatkan TNI melampaui ketentuan yang diatur dalam undang-undang," ujar Koalisi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Sektor Keamanan.

Penjelasan Pasal 47 ayat (1) Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2025 menyebutkan bahwa "Yang dimaksud dengan "jabatan pada Kejaksaan Republik Indonesia" adalah jabatan pada Kejaksaan Republik Indonesia di bidang pidana militer". Sehingga, keterlibatan TNI dalam tubuh kejaksaan hanya terbatas pada pidana militer. Bukan melebar hingga mencakup ranah pelaksanaan tugas dan fungsi kejaksaan lainnya. 

Koalisi ini menegaskan, kendati presiden berwenangan membentuk perpres, tapi pembentukannya tetap harus diletakkan dalam tata pembentukan perundang-undangan yang benar. Sudah sepatutnya pembentukan Perpres 66/2025, yang tidak tunduk pada norma dan tatanan hukum yang benar, dievaluasi dan ditinjau ulang kembali oleh presiden dan Dewan Perwakilan Rakyat.

Koalisi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Sektor Keamanan terdiri dari Imparsial, Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS), Perhimpunan Bantuan Hukum dan Hak Asasi Manusia Indonesia (PBHI), Amnesty International Indonesia, ELSAM, Human Right Working Group (HRWG), WALHI, SETARA Institute, Centra Initiative, Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta, LBH Pers, LBH Masyarakat, LBH Surabaya Pos Malang, Aliansi untuk Demokrasi Papua (ALDP), Public Virtue, Institute for Criminal Justice Reform (ICJR), Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Jakarta, Perhimpunan Pembela Masyarakat Adat Nusantara (PPMAN), BEM SI, De Jure.

Read Entire Article
Fakta Dunia | Islamic |