TEMPO.CO, Jakarta - Setiap musim haji, masyarakat di Kabupaten Jembrana, Bali, menjalani tradisi ninjau haji. Tradisi yang sudah berlangsung sejak generasi terdahulu ini sering dianggap sebagai Lebaran ketiga bagi umat Islam di kabupaten itu.
Musadat Johar, budayawan Kampung Loloan, Kabupaten Jembrana, mengatakan bahwa momen ini sangat dinanti oleh anak-anak karena mereka akan diajak jalan-jalan dan rekreasi oleh para orang tua.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
"Pada masa saya anak-anak, lokasi terjauh ninjau haji sampai di Gilimanuk. Dengan bus dan kondisi jalan masa itu, jarak tersebut terasa jauh sekali," kata laki-laki yang usianya sudah lebih 60 tahun ini, seperti dilansir Antara.
Makna Ninjau Haji
Ninjau haji berasal dari bahasa Melayu yang berarti mengantar keberangkatan jemaah calon haji. Bahasa Melayu digunakan oleh masyarakat lokal dalam pergaulan sehari-hari oleh mayoritas umat Muslim di Kabupaten Jembrana. Bahasa ini berawal dari Suku Bugis, yang membuka kampung Muslim pertama di Jembrana ratusan tahun lalu, sebagai dari hadiah raja setempat saat itu.
Meskipun arti ninjau haji adalah mengantar keberangkatan haji, sebagian besar masyarakat merayakan tradisi ini tidak dengan mendatangi pusat pemberangkatan haji di Kota Negara, Ibu Kota Kabupaten Jembrana.
Jemaah calon haji biasanya mengikuti seremonial pelepasan di masjid masing-masing desa dilanjutkan pelepasan tingkat kabupaten di Kota Negara, kemudian diberangkatkan dengan bus ke asrama haji di Surabaya, Jawa Timur. Namun, sebagian besar masyarakat yang ninjau haji tidak mengikuti kegiatan tersebut. Kebanyakan warga yang ninjau haji langsung berangkat menuju lokasi yang sudah direncanakan untuk berwisata.
Tempat wisata yang dituju bukan hanya di Kabupaten Jembrana. Rombongan yang ninjau haji juga memadati lokasi wisata di Bali, seperti di Kabupaten Buleleng, seperti Labuhan Lalang, Banyuwedang, hingga Pulaki. Bahkan, anak muda sampai menyeberang ke Kabupaten Banyuwangi, Jawa Timur.
Awal-mula Tradisi Ninjau Haji
Menurut Musadat Johar, tradisi ini berawal dari masa lalu ketika pemberangkatan haji dilakukan lewat perahu di muara laut Tanjung Tangis. Saat melepas calon jemaah haji, keluarga dan masyarakat bertangis-tangisan di muara yang saat ini berlokasi di antara Desa Pengambengan, Kecamatan Negara dengan Desa Perancak, Kecamatan Jembrana.
"Karena naik perahu, ada potensi besar orang yang berangkat haji tidak akan kembali. Bisa karena badai di tengah laut atau meninggal di Tanah Suci Makkah," kata dia.
Itulah sebabnya, muara tempat keberangkatan jamaah haji itu dikenal dengan sebutan Tanjung Tangis.
Jemaah calon haji dari Jembrana baru akan pulang lagi dalam waktu enam bulan lebih, bahkan satu tahun.
Bersenang-senang saat Nijau Haji
Tapi kini zaman sudah berubah. Jemaah haji tak lagi berangkat dengan kapal laut, tetapi naik pesawat. Maka, tangisan ketika mengantar haji juga sudah berubah menjadi kegembiraan. Kalaupun masih ada yang menangis, bukan karena khawatir jemaah haji yang dilepas tidak kembali lagi.
Karena kegembiraan itu, banyak orang yang rela meninggalkan aktivitas rutinnya demi bisa ninjau haji. Anak-anak yang biasanya sulit dibangunkan untuk sekolah, saat hari ninjau haji, pagi sekali sudah bangun sendiri. Semua itu karena dipicu luapan kegembiraan dari tradisi ninjau haji.
Saat ninjau haji, suasana desa-desa yang mayoritas dihuni umat Islam di Kabupaten Jembrana lebih sunyi dari biasanya, karena sebagian besar warga menuju berbagai lokasi wisata merayakan keberangkatan jamaah calon haji. Mereka membawa makanan untuk piknik di lokasi.
Sesampainya di lokasi tujuan, mereka akan menggelar tikar, menyalakan kompor dan memasak bahan-bahan yang sudah disiapkan.
Ayu, salah seorang warga Desa Pengambengan, yang ditemui saat melakukan ninjau haji, mengatakan bahwa membawa makanan matang atau bahan mentah, selain menghemat juga membuat lebih gembira dengan masak dan makan bersama. Bersama keluarga serta sejumlah kawannya, dia memilih pantai di Kelurahan Gilimanuk yang berjarak sekitar 25 kilometer dari Desa Pengambengan sebagai lokasi untuk ninjau haji.
Meski tidak sampai membawa kompor gas, Alfina Laila, warga Desa Pengambengan lainnya, membawa buah-buahan, pisau, serta bumbu rujak untuk dia racik bersama keluarganya di Taman Pecangakan, Kota Negara. Momen itu dijaikan sebagai istirahat sejenak dari rutinitas. Di balik kegembiraan itu, mereka juga menyelipkan doa atau harapan, kelak juga bisa berangkat naik haji ke Makkah.