Cara Warga Desa Mata Redi di Sumba Tengah NTT Mengelola PLTS

5 hours ago 1

TEMPO.CO, Sumba Tengah - Jeni Rambu Leki Nguju tampak tergesa-gesa menuju rumahnya yang hanya sepelemparan batu dari Balai Desa Mata Redi, Sumba Tengah, Nusa Tenggara Timur (NTT). Sore itu, Jeni dan puluhan warga desa baru saja selesai menggelar rapat umum Badan Milik Desa (BUMDes) yang berlangsung seharian.

Awan mendung yang menggelayut sejak sore membikin gelap datang lebih cepat dari biasanya di Desa Mata Redi. "Aih, mama punya rumah belum kasih hidup lampu. Adik, mari di rumah saja mengobrol. Minum teh dulu toh," ujarnya.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Dari kejauhan, cahaya lampu terlihat memancar dari rumah warga, menyelinap di sela-sela batang pepohonan. Setelah bertahun-tahun diliputi kegelapan, kini warga bisa menikmati penerangan setelah dua unit Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) mengalirkan listrik ke rumah warga sejak tiga tahun lalu.

Sebelum kehadiran PLTS, Jeni dan warga lainnya tidak pernah mendapat jawaban pasti mengapa kabel PLN terlalu pendek untuk bisa menjangkau desa mereka. Bagi Jeni, setidaknya untuk saat ini, ia tak lagi membutuhkan jawaban itu. "Sekarang kami sudah punya PLTS, ini adalah harapan kami, kebanggaan kami," katanya.

Penampakan Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) di Mata Redi, Sumba Tengah, Nusa Tenngara Timur, Sabtu, 10 Mei 2025. Berkapasitas 95 kWp, PLTS ini mampu mengaliri listrik untuk 234 rumah warga yang ssbelumnya diliputi kegelapan selama bertahun-tahun. Dok. Program Mentari.

Mata Redi merupakan salah satu desa yang baru saja lepas dari status terpencil di Kabupaten Sumba Tengah, Nusa Tenggara Timur. Desa ini berjarak sekitar 20 kilometer dari ibukota kabupaten. Mata Redi terpaut jarak sekitar lima kilometer dari ruas jalan lintas provinsi yang menghubungkan pantai utara dengan selatan Pulau Sumba.

Kepala Desa Mata Redi Adrianus Umbu Ratua mengatakan, Desa Mata Woga yang bertetangga dengan Mata Redi sudah teraliri listrik PLN sejak 2010 lalu. Padahal jarak kedua desa ini tidak begitu jauh. 

Berdasarkan penjelasan pemerintah kabupaten, kata Adrianus, PLN enggan mengembangkan jaringan listrik di Mata Redi karena menelan biaya tinggi. "Kami sering mendorong pemerintah untuk adakan listrik, tetapi sesering itu pula tidak ada kepastian, tidak ada jawaban. Kami terus gelap dan mengandalkan pelita untuk penerangan," kata Adrianus.

Punya populasi sekitar 940 jiwa, Mata Redi merupakan desa dengan jumlah penduduk paling sedikit di Kecamatan Katikutana. Menurut Adrianus, pola permukiman warga yang tersebar dan berjauhan, bahkan ada yang di atas bukit, menjadi tantangan tersendiri dalam pembangunan infrastruktur.

Penantian panjang warga akhirnya terjawab melalui program Menuju Transisi Energi Rendah Karbon Indonesia (Mentari). Program ini merupakan kerja sama antara pemerintah Inggris dan Indonesia. Menelan anggaran Rp 16 miliar, dua unit PLTS berkapasitas masing-masing 60 kWp dan 35 kWp didirikan untuk melayani 234 rumah yang tersebar di empat dusun. Total panjang jaringan kabel listrik jika dihitung dari titik pembangkit sekitar 11 hingga 12 kilometer.

Direktur Program Mentari Dedy Haning mengatakan butuh dua tahun untuk mempersiapkan sumber daya manusia di desa ini sebelum PLTS dibangun. Warga terlibat sejak awal agar mereka merasa memiliki dan bertanggung jawab atas keberlangsungan pembangkit.

Penampakan Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) di Mata Redi, Sumba Tengah, Nusa Tenngara Timur, Sabtu, 10 Mei 2025. Berkapasitas 95 kWp, PLTS ini mampu mengaliri listrik untuk 234 rumah warga yang ssbelumnya diliputi kegelapan selama bertahun-tahun. Dok. Program Mentari.

“Kalau hanya dibangun lalu ditinggal, PLTS tidak akan bertahan lama. Kami ingin warga jadi pelaku utama, bukan sekadar penerima manfaat,” kata Dedy.

Ketika merancang pembangunan PLTS pada 2020, Dedy dan timnya rutin mendampingi warga dalam mengelola BUMDes. Selain menjadikan PLTS sebagai unit usaha utama, warga juga dilatih mengembangkan usaha lain seperti mengolah hasil pertanian berupa serai wangi dan jahe menjadi produk bernilai tambah.

Meski PLTS dibangun dengan dana hibah, warga tetap membayar iuran tetap sebesar Rp 50 ribu per bulan, terlepas dari besar-kecilnya pemakaian listrik. Dana tersebut dikelola oleh BUMDes untuk membiayai operator dan biaya perawatan pembangkit.

Rita mengatakan dua orang pemuda Mata Redi juga telah mendapatkan pelatihan dan sertifikasi sebagai operator PLTS. Dengan begitu, dia berharap setelah program pendampingan berakhir, mereka bisa mengelola PLTS tersebut secara mandiri dan berkelanjutan.

"Kami ingin memastikan bahwa setelah kami pergi, pembangkit ini tetap berjalan dan dikelola secara berkelanjutan oleh warga sendiri," ujar Rita.

Read Entire Article
Fakta Dunia | Islamic |