Kuasa Hukum Pesantren Miftah Maulana Bantah Ada Penganiayaan: Kontak Fisik untuk Pelajaran Moral

1 day ago 6

TEMPO.CO, Jakarta - Tim kuasa hukum Yayasan Pondok Pesantren Ora Aji, Kalasan, Sleman, Yogyakarta yang diasuh pendakwah Miftah Maulana Habiburrahman angkat bicara soal kasus dugaan penganiayaan santri.

Kasus yang telah ditangani Polresta Sleman itu, sebanyak 13 pengurus dan santri Ponpes Ora Aji dilaporkan karena diduga menganiaya seorang santri, KDR, 23 tahun. Penganiayaan itu diduga dilatari kecurigaan bahwa korban telag mencuri uang sebesar Rp 700 ribu, yang merupakan hasil usaha penjualan air mineral galon yang dikelola yayasan pondok.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

"Tidak ada yang namanya menganiaya, membuat cedera, itu semua tidak ada," kata Adi Susanto, kuasa hukum Yayasan Ponpes Ora Aji, Jumat 30 Mei 2025.

Meski demikian, Adi tak menampik soal adanya kontak fisik antara 13 orang pengurus dan santri itu dengan KDR.

Namun, kata dia, kontak fisik itu diberikan untuk sekedar memberikan pelajaran moral secara spontan dalam gaya pertemanan sesama santri. Bagi dia, tudingan korban diikat, dicambuk dengan selang hingga disetrum terlalu didramatisir. 

Menurut Adi, 13 orang yang dilaporkan pihak korban itu memberikan kontak fisik atas dasar rasa kesal. Upaya itu untuk mendesak agar KDR mengakui perbuatannya soal vandalisme, kehilangan harta benda santri lain hingga uang hasil penjualan air galon yang dikelola ponpes.

"Para santri yang merasa dirinya pernah kehilangan barang juga saat itu merasa kesal kepada yang bersangkutan, 'Ini santri kok kelakuan kayak gini?', lalu tersulut emosinya,"

"Tersulut dalam arti untuk memberikan semacam pelajaran pendidikan moral sebenarnya di kalangan sesama santri dan itu di luar sepengetahuan pengurus," kata Adi.

Hingga kemudian KDR mengakui perbuatannya, korban dan 13 orang tersebut tetap bergaul secara rukun. Namun beberapa waktu kemudian KDR meninggalkan ponpes dan belasan orang tadi dipolisikan sampai resmi ditetapkan sebagai tersangka berdasarkan hasil penyelidikan Polresta Sleman.

Meski berstatus tersangka dengan ancaman hukuman pidana penjara di atas lima tahun, Adi membenarkan bahwa 13 orang tadi masih bebas atas permohonan untuk tidak ditahan yang diajukan pihak penasehat hukum yayasan ponpes.

Alasannya, 13 orang tadi berstatus santri aktif yang masih membutuhkan pendidikan, selain empat orang di antaranya yang berstatus bawah umur. Di satu sisi, ujar Adi, pihak yayasan sebelumnya juga sudah mencoba menempuh jalur mediasi.

Yayasan mencoba beritikad baik menawarkan sejumlah nominal uang sebagai kompensasi. Namun tawaran nominal angkanya oleh pihak KDR dinilai tak sebanding sehingga mediasi pun gagal.

"Jadi poin utamanya ini bukan perbuatan anarkisme, bukan penganiayaan yang dimaksudkan untuk mencelakai, lebih kepada sikap spontan dari para santri yang turut jadi korban pencurian selama ini di ponpes, itu yang disayangkan,"

"Para santri kesal, kenapa ada santri maling, kira-kira begitu, mereka tidak terima begitu," kata dia.

Ayah korban KDR melalui kuasa hukumnya, Heru Lestarianto, mengungkapkan kejadian itu puncaknya terjadi pada 15 Februari 2025 silam, setelah korban mendapat giliran tugas menjaga unit usaha yang dikelola yayasan. Korban dituding mencuri uang senilai Rp 700 ribu yang saat itu hilang.

Heru mengatakan, penganiayaan tak dilakukan sekali.

"Korban dianiaya dalam dua waktu berbeda, setiap kali hendak dianiaya, KDR dibawa ke dalam salah satu ruangan di ponpes," kata Heru.

Dari keterangan korban, penganiayaan dilakukan dengan cara diikat hingga dipukuli.

"Di ponpes itu kan ada kamar, korban dimasukin ke kamar itu lalu 13 orang ini menghajar bergantian, juga disetrum dan dipukuli dengan selang air," kata dia.

Korban lantas memutuskan keluar dari pondok pesantren itu setelah delapan bulan menimba ilmu di sana dan pulang ke kampung halamannya di Kalimantan usai melaporkan kasus penganiayaan itu ke polisi pada 16 Februari 2025.

Read Entire Article
Fakta Dunia | Islamic |