Ragam Reaksi atas Aturan Jam Malam Pelajar ala Dedi Mulyadi

1 day ago 5

GUBERNUR Jawa Barat Dedi Mulyadi menerapkan jam malam bagi pelajar mulai hari ini, Ahad, 1 Juni 2025. Aturan ini membatasi agar anak tidak keluar rumah mulai pukul 21.00 WIB hingga 04.00 WIB jika tidak ada kepentingan. Dedi mengatakan jam malam penting untuk menjauhkan para pelajar dari potensi bahaya di luar rumah.

Aturan jam malam pelajar itu dituangkan dalam Surat Edaran Gubernur Jawa Barat Nomor 51/PA.03/Disdik. Surat edaran tersebut ditandatangani secara elektronik pada 23 Mei 2025.

Surat edaran ini ditujukan kepada wali kota dan bupati hingga kepala desa, juga Kepala Kantor Wilayah Kementerian Agama Provinsi Jawa Barat, serta Kepala Dinas Pendidikan Provinsi Jawa Barat. Dedi meminta bupati dan wali kota mengoordinasikan pemberlakuan jam malam ini hingga tingkat kecamatan serta desa. 

“Mudah-mudahan para bupati, wali kota sama dengan Gubernur Jawa Barat,” kata Dedi dikutip dari siaran pers Humas Jawa Barat pada Jumat, 30 Mei 2025.

Pengecualian berlaku bagi pelajar yang mengikuti kegiatan sekolah atau lembaga pendidikan resmi, pelajar yang sedang mengikuti kegiatan keagamaan dan sosial di tempat tinggal dengan sepengetahuan orang tua/wali, pelajar yang sedang berada di luar rumah bersama orang tua/wali, kondisi darurat atau bencana, serta kondisi lainnya yang sepengetahuan orang tua/wali.

Pemberlakuan jam malam tersebut mendapat tanggapan dari berbagai kalangan.

JPPI Sebut Penerapan Jam Malam bagi Pelajar Kebijakan Keliru

Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI) menilai penerapan jam malam bagi pelajar di Jawa Barat tidak akan efektif mengatasi kenakalan remaja. Koordinator Nasional JPPI Ubaid Matraji mengatakan kebijakan Dedi Mulyadi itu justru bisa melenceng dari tujuannya.

“Penerapan jam malam bagi pelajar adalah kebijakan yang keliru dan salah alamat. Kebijakan ini cenderung hanya menyalahkan siswa dan mengabaikan akar masalah yang lebih kompleks,” ujar Ubaid dalam keterangan resmi pada Kamis, 29 mei 2025.

Ubaid menjelaskan perspektif yang mengaitkan kenakalan remaja dengan aktivitas di malam hari adalah cara pandang yang salah. Sebab, tawuran atau pergaulan bebas yang kerap terjadi pada malam hari, kata dia, tidak murni terjadi karena pelajar berada di luar rumah pada waktu-waktu tertentu.

Dia menyebutkan ada faktor lain yang turut menyebabkan masalah pada kenakalan remaja, seperti lingkungan keluarga yang kurang perhatian, kurangnya fasilitas dan kegiatan positif, serta masalah ekonomi dan sosial. Sehingga dia menganggap larangan keluar rumah di atas pukul 21.00 WIB menunjukkan kegagalan dalam memahami dinamika kehidupan pelajar.

“Pelajar bukan hanya objek yang perlu diatur dengan ketat, tetapi individu yang memiliki hak dan kebutuhan sosial. Pendekatan seperti ini berpotensi merampas ruang gerak dan kreativitas mereka,” tutur Ubaid.

Akibatnya, kata dia, kebijakan itu justru bisa menghalangi pelajar berkembang lewat kegiatan ekstrakurikuler atau mengikuti bimbingan belajar. Lebih lanjut, dia memprediksi pemberlakuan jam malam juga berpotensi menimbulkan konflik antara pelajar dan aparat penegak hukum, serta memancing kecemasan di kalangan orang tua.

“Menerapkan jam malam tanpa mengatasi akar masalah hanya akan menjadi solusi jangka pendek yang tidak efektif dan justru merugikan perkembangan pelajar," kata Ubaid.

Alih-alih memberikan solusi jangka pendek, dia mendesak Pemerintah Provinsi Jawa Barat memprioritaskan upaya preventif dalam menangani  permasalahan remaja. Hal itu antara lain bisa lewat penguatan peran keluarga dan sekolah, memfasilitasi kegiatan positif, serta melibatkan komunitas.

Psikolog Bilang Aturan Jam Malam Dedi Mulyadi Perlu Sanksi

Psikolog dari Universitas Padjadjaran, Aulia Iskandarsyah, mengatakan aturan jam malam itu harus lengkap dengan prosedur yang jelas untuk pengawasan dan pembinaannya, termasuk sanksi atas pelanggaran yang dilakukan.

“Siapa yang berhak memberikan sanksi serta tata cara pemberian sanksinya, sebaiknya sanksi harus bertujuan untuk mengedukasi,” ujarnya saat dihubungi pada Jumat, 30 Mei 2025.

Menurut Aulia, jika tidak ada prosedur yang jelas, maka surat edaran jam malam hanya akan menjadi wacana yang pada pelaksanaanya akan berbeda-beda dan susah diukur dampaknya. 

Pengendalian dari aturan jam malam itu, menurut Aulia, akan membatasi aktivitas peserta didik atau pelajar. Khususnya bagi anak yang suka keluyuran atau nongkrong pada malam hari. “Tentu ini akan membuat mereka tidak nyaman karena kebiasaannya dibatasi,” ujarnya.

Sedangkan bagi pelajar lain yang memiliki rutinitas mengikuti jam belajar, main, dan istirahat yang wajar, kata dia, pemberlakuan jam malam ini tidak terlalu berdampak.

Dia menuturkan, hasil studi sistematik review yang dilakukan Grossman & Miller (2019) di negara yang menerapkan jam malam, implementasi aturan tersebut berdampak pada penurunan angka kriminalitas remaja, korban kejahatan remaja, dan penurunan tingkat kecelakaan transportasi.

Jika ingin mengukur dampak dari jam malam ini, Aulia mengatakan harus diketahui dulu data awal sebelum penerapan aturan. “Kemudian ditentukan indikator apa saja yang ingin dievaluasi setelah penerapan jam malam dalam kurun waktu tertentu, sehingga kita bisa melakukan evaluasi yang objektif berbasis data aktual.”

Dia menilai aturan jam malam itu juga tidak mengurangi kreativitas peserta didik. Alasannya, karena waktu jam malam mulai dari pukul 21.00-04.00 WIB disertai beberapa pengecualian aktivitas yang dibolehkan. “Jika dilihat dari waktu yang dibatasi yang secara siklus hidup sehari-hari merupakan waktu istirahat, maka ini pembatasan yang wajar dan tidak akan berdampak pada kreativitas peserta didik.”

KPAI Pertanyakan Aturan Jam Malam Dedi Mulyadi

Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) merespons positif ketentuan jam malam bagi anak-anak yang diterapkan Pemerintah Provinsi Jawa Barat. Namun KPAI mempertanyakan cakupan ketentuan tersebut, terutama bagi anak-anak yang tidak bersekolah di lembaga pendidikan formal.

“Kenapa sasarannya hanya untuk peserta didik? Bagaimana edaran itu menjangkau anak yang tidak berstatus peserta didik? Ini perlu diberikan penjelasan ke publik,” kata Komisioner KPAI Aris Adi Leksono kepada Tempo pada Rabu, 28 Mei 2025.

Aris menilai tujuan kebijakan tersebut sejalan dengan prinsip perlindungan anak, tetapi tujuan itu menjadi pertanyaan ketika sasarannya hanya peserta didik. Sebab, jumlah anak yang tidak bersekolah di Jawa Barat masih cukup tinggi. 

Menurut data Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah per November 2024, jumlah anak yang tidak bersekolah di Jawa Barat sebanyak 658 ribu orang. Angka itu termasuk anak yang putus sekolah, anak yang tidak melanjutkan sekolah ke jenjang lebih tinggi, dan anak yang belum pernah bersekolah. 

Dia berpendapat perlindungan terhadap anak seharusnya bersifat menyeluruh, tanpa diskriminasi status pendidikan. Karena itu, Aris mendorong Pemerintah Jawa Barat melibatkan seluruh ekosistem perlindungan anak dalam pelaksanaan kebijakan tersebut, termasuk orang tua, aktivis Perlindungan Anak Terpadu Berbasis Masyarakat (PATBM), pusat pembelajaran keluarga (Puspaga), serta tokoh masyarakat di tingkat rukun tetangga hingga desa atau kelurahan.

Aris juga mengingatkan para petugas yang diterjunkan untuk mengawasi pelaksanaan jam malam anak ini dibekali pemahaman tentang safeguarding atau kebijakan keselamatan anak. Langkah ini sangat penting untuk mencegah terjadinya kekerasan atau pelanggaran hak anak dalam proses penegakan aturan.

Anwar Siswadi, Ahmad Fikri, Dian Rahma Fika, dan Dinda Shabrina berkontribusi dalam penulisan artikel ini.

Pilihan editor: Polemik Haji Furoda. Bisakah Jemaah Mendapat Pengembalian Dana?

Read Entire Article
Fakta Dunia | Islamic |