Warga Desa Mata Redi Kelola Listrik PLTS Mandiri

6 hours ago 6

TEMPO.CO, Sumba Tengah - Setelah bertahun-tahun mengandalkan minyak tanah dan kayu bakar, warga Desa Mata Redi, Kecamatan Katikutana, Sumba Tengah, Nusa Tenggara Timur, kini menikmati listrik dari Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS). Kehadiran PLTS membuat mereka tak perlu lagi membeli minyak tanah untuk memasak atau menyalakan lampu. “Sekarang memasak nasi tinggal colok, lampu tinggal colok. Anak-anak pun tidak rebutan pelita saat malam hari ketika belajar,” kata Jeni Rambu Leki Nguju, warga desa, Jumat, 9 Mei 2025.

Sebelum PLTS hadir, Jeni menghabiskan Rp 50.000 hingga Rp 100.000 per bulan untuk minyak tanah. Kini, cukup membayar iuran listrik Rp 50.000 per bulan. “Sekarang jauh lebih hemat,” ujarnya.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

PLTS mulai beroperasi pada 2022 dan terdiri dari dua unit dengan kapasitas 60 kWp dan 35 kWp. Energi yang dihasilkan mengaliri 216 rumah dan berbagai fasilitas umum seperti sekolah, posyandu, tiga gereja, mess guru, dan kantor desa. Panjang jaringan kabel listrik mencapai sekitar 11 hingga 12 kilometer.

Pemerintah Inggris mendukung pembangunan pembangkit dan jaringan melalui program Menuju Transisi Energi Rendah Karbon Indonesia (Mentari), yang memberikan hibah senilai Rp16 miliar.

Menurut Project Demonstration Lead Mentari, Dedy Haning, pemilihan Desa Mata Redi didasarkan pada kesiapan masyarakat mengelola PLTS melalui Badan Usaha Milik Desa (BUMDes). “Kalau PLTS hanya dibangun lalu ditinggalkan, tentu tak akan berumur panjang. Kami ingin warga menjadi pengelola utama, bukan hanya penerima manfaat,” ujarnya.

Sebelum pembangunan dimulai, tim Mentari menghabiskan dua tahun untuk membangun kapasitas sumber daya manusia di desa. Warga dilibatkan sejak tahap awal perencanaan. Selain mengelola PLTS, mereka juga diajari mengembangkan usaha berbasis pertanian seperti pengolahan serai wangi dan jahe menjadi produk bernilai tambah.

Warga tetap membayar iuran bulanan Rp50.000 tanpa melihat besaran pemakaian listrik. Dana itu digunakan untuk membayar operator dan biaya perawatan, semua dikelola oleh BUMDes.

Sebanyak 10 pemuda desa telah mendapat pelatihan dan sertifikasi sebagai operator PLTS. Dedy berharap pelatihan ini menjamin keberlanjutan pengelolaan setelah program pendampingan berakhir. “Di wilayah seperti Sumba, energi terbarukan, terutama tenaga surya, adalah pilihan yang paling realistis,” katanya.

Ia menjelaskan, jaringan PLN sulit menjangkau daerah terpencil dengan pola permukiman tersebar, apalagi tanpa keberadaan industri besar sebagai konsumen utama. “Masalah ini tidak hanya ada di Sumba. Membangun jaringan listrik mahal, dan kalau tidak ada konsumen besar, investasinya tidak masuk akal secara ekonomi,” ujarnya.

Menurut Dedy, banyak proyek energi terbarukan gagal karena minimnya kapasitas lokal mengelola pembangkit. “Yang paling terpenting yakni melibatkan komunitas dalam pemanfaatan energi terbarukan. Ada rasa memiliki dan semangat kolektif sehingga komunitas ikut menjaga keberlangsungan energi di tempat mereka,” katanya.

Data Dinas Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Provinsi Nusa Tenggara Timur menunjukkan, tingkat elektrifikasi Pulau Sumba pada 2023 baru mencapai 85,11 persen. Kondisi ini masih tertinggal dibanding wilayah lain di NTT dan rata-rata nasional.

Sumba menyimpan potensi besar untuk energi terbarukan, dengan paparan sinar matahari yang tinggi dan kecepatan angin rata-rata 5,9 meter per detik. Namun, akses jalan yang sulit, terutama saat musim hujan, menjadi tantangan utama dalam pembangunan infrastruktur. “Itu menjadi tantangan utama dalam pengembangan energi di wilayah ini,” kata Dedy.

Read Entire Article
Fakta Dunia | Islamic |