Liputan6.com, Jakarta Salah satu pertanyaan yang sering muncul di kalangan umat Muslim menjelang Idul Adha adalah daging kurban dibagikan kepada siapa saja. Hal ini merupakan hal yang sangat fundamental dalam pelaksanaan ibadah kurban, karena pembagian daging kurban memiliki aturan dan ketentuan yang jelas dalam syariat Islam. Pemahaman yang benar mengenai penerima daging kurban akan memastikan bahwa ibadah kurban yang dilakukan menjadi sempurna dan sesuai dengan tuntunan agama.
Banyak umat Muslim yang masih merasa bingung tentang daging kurban dibagikan kepada golongan mana saja yang berhak menerimanya. Kebingungan ini wajar terjadi mengingat terdapat berbagai pendapat dan interpretasi yang berkembang di masyarakat. Namun, jika merujuk kepada Al-Quran, hadits, dan pendapat para ulama yang mu'tabar, sebenarnya telah ada ketentuan yang jelas mengenai hal ini.
Penting pula untuk mengetahui proporsi pembagian yang dianjurkan serta hikmah di balik ketentuan tersebut. Dengan memahami daging kurban dibagikan kepada pihak-pihak yang tepat, diharapkan ibadah kurban yang dilakukan dapat memberikan manfaat optimal bagi semua pihak yang terlibat.
Berikut ini penjelasan mengenai daging kurban dibagikan kepada siapa saja berdasarkan dalil-dalil yang shahih, yang telah Liputan6.com rangkum pada Selasa (3/6).
Panitia kurban Masjid Istiqlal menggunakan besek untuk membungkus daging kurban yang kan dibagikan kepada warga. Besek-besek tersebut didatangkan dari Tasikmalaya. Karena besek tidak cukup panitia menggunakan plastik ramah lingkungan.
Tiga Golongan Penerima Daging Kurban
Berdasarkan tuntunan syariat Islam, daging kurban dibagi kepada tiga golongan utama yang masing-masing memiliki hak untuk menerimanya. Ketentuan ini telah ditetapkan berdasarkan Al-Quran dan hadits-hadits shahih yang diriwayatkan dari Rasulullah SAW. Setiap golongan memiliki porsi yang telah diatur, yaitu masing-masing mendapatkan sepertiga bagian dari total daging kurban.
Pembagian kepada tiga golongan ini bukan hanya sekedar tradisi, melainkan memiliki hikmah yang mendalam dalam memperkuat ikatan sosial dan spiritual dalam masyarakat. Melalui pembagian ini, ibadah kurban tidak hanya menjadi ritual individual, tetapi juga menjadi sarana untuk mempererat tali silaturahmi dan kepedulian sosial. Ketiga golongan tersebut mencakup orang yang berkurban itu sendiri, kerabat dan tetangga, serta fakir miskin.
Ketentuan pembagian ini memberikan keseimbangan antara hak pribadi, hubungan sosial, dan tanggung jawab terhadap sesama yang membutuhkan. Allah SWT telah berfirman dalam Surat Al-Hajj ayat 36 yang memberikan panduan jelas mengenai hal ini:
وَالْبُدْنَ جَعَلْنٰهَا لَكُمْ مِّنْ شَعَاۤىِٕرِ اللّٰهِ لَكُمْ فِيْهَا خَيْرٌۖ فَاذْكُرُوا اسْمَ اللّٰهِ عَلَيْهَا صَوَاۤفَّۚ فَاِذَا وَجَبَتْ جُنُوْبُهَا فَكُلُوْا مِنْهَا وَاَطْعِمُوا الْقَانِعَ وَالْمُعْتَرَّۗ كَذٰلِكَ سَخَّرْنٰهَا لَكُمْ لَعَلَّكُمْ تَشْكُرُوْنَ
Artinya: "Unta-unta itu Kami jadikan untukmu sebagai bagian dari syiar agama Allah. Bagimu terdapat kebaikan padanya. Maka, sebutlah nama Allah (ketika kamu akan menyembelihnya, sedangkan unta itu) dalam keadaan berdiri (dan kaki-kaki telah terikat). Lalu, apabila telah rebah (mati), makanlah sebagiannya dan berilah makan orang yang merasa cukup dengan apa yang ada padanya (tidak meminta-minta) dan orang yang meminta-minta. Demikianlah Kami telah menundukkannya (unta-unta itu) untukmu agar kamu bersyukur."
Siapa Sajakah Mereka?
Shohibul Qurban (Orang yang Berkurban)
Golongan pertama yang berhak mendapatkan daging kurban adalah shohibul qurban atau orang yang melaksanakan ibadah kurban itu sendiri beserta keluarganya. Berdasarkan ketentuan syariat, mereka berhak mendapatkan sepertiga bagian dari total daging kurban yang disembelih. Hak ini diberikan agar orang yang berkurban dapat merasakan nikmat dari ibadah yang telah dilaksanakannya.
Dalil yang mendasari kebolehan shohibul qurban memakan sebagian dari kurbannya terdapat dalam hadits yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad. Rasulullah SAW bersabda mengenai hal ini dengan jelas dan tegas:
إِذَا ضَحَّى أَحَدُكُمْ فَلْيَأْكُلْ مِنْ أُضْحِيَّتِهِ
Artinya: "Jika di antara kalian berqurban, maka makanlah sebagian qurbannya" (HR Ahmad).
Namun perlu diingat bahwa meskipun shohibul qurban berhak memakan sebagian dari kurbannya, mereka tidak diperbolehkan untuk menjual bagian kurban tersebut dalam bentuk apapun. Baik itu daging, kulit, bulu, maupun bagian lain dari hewan kurban tidak boleh diperjualbelikan oleh orang yang berkurban. Hal ini karena kurban merupakan ibadah yang diniatkan untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT, bukan untuk mencari keuntungan material.
Tetangga, Kerabat, dan Teman
Golongan kedua yang berhak menerima daging kurban adalah tetangga sekitar, kerabat, dan teman-teman shohibul qurban. Yang menarik dari ketentuan ini adalah bahwa mereka berhak menerima daging kurban meskipun kondisi ekonomi mereka tergolong mampu atau berkecukupan. Hal ini menunjukkan bahwa pembagian daging kurban tidak semata-mata didasarkan pada kondisi ekonomi, tetapi juga untuk mempererat hubungan silaturahmi.
Besarnya porsi yang diberikan kepada golongan ini juga sepertiga bagian dari total daging kurban. Bahkan berdasarkan fatwa MUI, tetangga atau kerabat yang non-Muslim pun dapat diberikan jatah daging kurban, terutama mereka yang tergolong fakir miskin atau tetangga dekat. Tidak ada ketentuan khusus yang menyatakan bahwa penerima daging kurban haruslah Muslim.
Dalil yang mendasari kebolehan memberikan daging kurban kepada non-Muslim terdapat dalam Al-Quran Surat Al-Mumtahanah ayat 8:
لَا يَنْهَاكُمُ اللَّهُ عَنِ الَّذِينَ لَمْ يُقَاتِلُوكُمْ فِي الدِّينِ وَلَمْ يُخْرِجُوكُمْ مِنْ دِيَارِكُمْ أَنْ تَبَرُّوهُمْ وَتُقْسِطُوا إِلَيْهِمْ ۚ إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُقْسِطِينَ
Artinya: "Allah tidak melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tidak memerangimu karena agama dan tidak mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil." (QS. Al-Mumtahanah, 60: 8).
Fakir Miskin
Golongan ketiga dan yang paling penting dalam pembagian daging kurban adalah fakir miskin. Mereka berhak mendapatkan sepertiga bagian dari daging kurban, dan bahkan shohibul qurban dapat menambahkan jatah untuk fakir miskin dari bagian kurbannya sendiri. Pembagian kepada fakir miskin merupakan salah satu tujuan utama dari disyariatkannya ibadah kurban, yaitu untuk saling berbagi kepada mereka yang membutuhkan.
Pentingnya memberikan daging kurban kepada fakir miskin telah ditekankan secara khusus dalam Al-Quran. Allah SWT tidak hanya menyebutkan kebolehan untuk memakan sebagian daging kurban, tetapi juga secara tegas memerintahkan untuk memberikannya kepada orang fakir. Hal ini menunjukkan bahwa aspek sosial dalam ibadah kurban memiliki kedudukan yang sangat penting.
Dalil yang mendasari kewajiban memberikan daging kurban kepada fakir miskin terdapat dalam Surat Al-Hajj ayat 28:
لِّيَشْهَدُوْا مَنَافِعَ لَهُمْ وَيَذْكُرُوا اسْمَ اللّٰهِ فِيْٓ اَيَّامٍ مَّعْلُوْمٰتٍ عَلٰى مَا رَزَقَهُمْ مِّنْۢ بَهِيْمَةِ الْاَنْعَامِۚ فَكُلُوْا مِنْهَا وَاَطْعِمُوا الْبَاۤىِٕسَ الْفَقِيْرَۖ
Artinya: "(Mereka berdatangan) supaya menyaksikan berbagai manfaat untuk mereka dan menyebut nama Allah pada beberapa hari yang telah ditentukan atas rezeki yang telah dianugerahkan-Nya kepada mereka berupa binatang ternak. Makanlah sebagian darinya dan (sebagian lainnya) berilah makan orang yang sengsara lagi fakir." (QS. Al-Hajj, 22: 28).
Ketentuan Khusus Kurban Nazar
Berbeda dengan kurban sunnah yang dilaksanakan pada Idul Adha, kurban nazar memiliki ketentuan khusus dalam hal pembagian daging. Jika seseorang melaksanakan kurban karena nazar yang telah diucapkannya, maka seluruh daging kurban tersebut harus diberikan kepada fakir miskin tanpa boleh dimakan oleh orang yang bernazar itu sendiri. Hal ini karena kurban nazar bersifat wajib dan merupakan konsekuensi dari janji yang telah diucapkan kepada Allah SWT.
Ketentuan ini berbeda secara fundamental dengan kurban sunnah Idul Adha yang membolehkan pembagian menjadi tiga bagian. Kurban nazar tidak memberikan hak kepada orang yang bernazar untuk memakan sebagian dari kurbannya, karena seluruh kurban tersebut diniatkan sebagai sedekah kepada fakir miskin sebagai pemenuhan nazar yang telah diucapkan.
Perbedaan ini penting untuk dipahami agar umat Muslim tidak keliru dalam melaksanakan kurban nazar. Ulama sepakat bahwa kurban nazar harus diserahkan sepenuhnya kepada fakir miskin, sebagaimana firman Allah dalam Surat Al-Hajj yang menegaskan perintah untuk memberi makan kepada orang fakir dan miskin dari hewan kurban yang telah disembelih.
Hikmah Pembagian Daging Kurban
Pembagian daging kurban kepada tiga golongan tersebut mengandung hikmah yang sangat mendalam dalam kehidupan bermasyarakat. Pertama, dengan membolehkan shohibul qurban memakan sebagian kurbannya, Islam mengajarkan bahwa orang yang beribadah juga berhak merasakan nikmat dari ibadahnya. Ini mengajarkan keseimbangan antara memberi dan menerima dalam kehidupan.
Kedua, pembagian kepada tetangga, kerabat, dan teman tanpa memandang status ekonomi mereka bertujuan untuk mempererat tali silaturahmi dan persaudaraan. Hal ini menciptakan ikatan sosial yang kuat dalam masyarakat dan menghilangkan sekat-sekat yang mungkin ada. Bahkan pemberian kepada non-Muslim menunjukkan nilai-nilai toleransi dan kemanusiaan universal dalam Islam.
Ketiga, pembagian kepada fakir miskin merupakan manifestasi dari kepedulian sosial dan pemerataan rezeki. Melalui kurban, orang-orang yang mampu berbagi nikmat Allah dengan mereka yang kurang beruntung. Ini sejalan dengan prinsip Islam tentang tanggung jawab sosial dan keadilan ekonomi. Rasulullah SAW telah bersabda mengenai hal ini:
إِنَّمَا نَهَيْتُكُمْ مِنْ أَجْلِ الدَّافَّةِ الَّتِي دَفَّتُ عَلَيْكُمْ فَكُلُوا وَتَصَدَّقُوا وَادَّخِرُوا
Artinya: "Sesungguhnya aku melarang kalian menyimpan (daging kurban) untuk kalian sendiri, maka makanlah, sedekahkanlah dan simpanlah." (HR. Abu Dawud).
Waktu Pelaksanaan Kurban dan Pembagian Daging
Pelaksanaan kurban memiliki waktu yang telah ditetapkan dalam syariat Islam, yaitu dimulai setelah selesainya shalat Idul Adha pada tanggal 10 Dzulhijjah dan berakhir pada terbenamnya matahari tanggal 13 Dzulhijjah. Waktu ini mencakup empat hari, yaitu satu hari Idul Adha dan tiga hari Tasyrik. Pembagian daging kurban sebaiknya dilakukan segera setelah penyembelihan untuk menjaga kualitas daging dan memastikan manfaatnya dapat dirasakan oleh semua penerima.
Ketentuan waktu ini sangat penting untuk diperhatikan karena kurban yang disembelih di luar waktu yang ditentukan tidak sah sebagai kurban. Hal ini berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dari Anas bin Malik yang menyatakan bahwa Nabi SAW melarang penyembelihan kurban sebelum shalat Idul Adha. Sebaliknya, kurban yang disembelih setelah shalat Idul Adha dinyatakan sah dan sesuai dengan sunnah kaum Muslimin.
Mengenai hari-hari Tasyrik sebagai waktu penyembelihan kurban, Rasulullah SAW telah bersabda dalam hadits yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad:
كُلُّ أَيَّامِ التَّشْرِيقِ ذَبح
Artinya: "Semua hari-hari tasyrik (yakni tanggal 11, 12, 13 Dzulhijah) adalah waktu untuk menyembelih kurban" (HR. Ahmad).
Tata Cara Praktis Pembagian Daging Kurban
Dalam praktik pembagian daging kurban, terdapat beberapa hal yang perlu diperhatikan untuk memastikan pembagian yang adil dan sesuai syariat. Pembagian sepertiga untuk masing-masing golongan tidak harus dilakukan dengan timbangan yang sangat presisi, tetapi cukup dengan perkiraan yang wajar dan adil. Yang terpenting adalah niat untuk berbagi dan memenuhi hak-hak yang telah ditetapkan oleh syariat Islam.
Untuk memudahkan pembagian, daging kurban dapat dipotong-potong sesuai dengan kebutuhan masing-masing penerima. Bagian untuk fakir miskin sebaiknya dipilih dari bagian daging yang baik, bukan sisa-sisa atau bagian yang kurang berkualitas. Hal ini sejalan dengan prinsip Islam yang mengajarkan untuk memberikan yang terbaik dalam berderma dan bersedekah kepada sesama.
Dalam hal penyimpanan daging kurban, Islam membolehkan shohibul qurban untuk menyimpan atau mengeringkan sebagian dagingnya untuk keperluan di kemudian hari. Namun, daging yang disimpan tersebut sebaiknya tetap diniatkan untuk dibagikan kepada yang membutuhkan ketika ada kesempatan, bukan semata-mata untuk konsumsi pribadi. Rasulullah SAW bersabda mengenai hal ini:
مَا عَمِلَ آدَمِيٌّ مِنْ عَمَلٍ يَوْمَ النَّحْرِ أَحَبَّ إِلَى اللَّهِ مِنْ إِهْرَاقِ الدَّمِ
Artinya: "Tidaklah seseorang melakukan suatu amalan yang lebih dicintai Allah pada Hari Raya Idul Adha melebihi amalan berkurban" (HR. At-Tirmidzi).
Etika dan Adab dalam Pembagian Daging Kurban
Pembagian daging kurban bukan hanya sekedar memenuhi kewajiban syariat, tetapi juga harus dilakukan dengan etika dan adab yang baik. Ketika memberikan daging kepada fakir miskin, hendaknya dilakukan dengan cara yang tidak merendahkan martabat mereka. Pemberian harus dilakukan dengan penuh hormat dan tidak menunjukkan sikap merendahkan atau mengharapkan pujian dari orang lain.
Dalam memberikan daging kurban kepada tetangga dan kerabat, hendaknya dilakukan dengan wajah yang ramah dan hati yang ikhlas. Jangan sampai pemberian daging kurban justru menimbulkan rasa tidak nyaman atau keterangsingan dalam hubungan sosial. Sebaliknya, momen pembagian daging kurban harus dijadikan sebagai sarana untuk mempererat hubungan dan menumbuhkan rasa saling menghargai antar sesama.
Selain itu, penting juga untuk memperhatikan kondisi dan kebutuhan masing-masing penerima. Untuk keluarga yang memiliki anggota keluarga banyak, porsi yang diberikan bisa disesuaikan dengan kebutuhan mereka. Begitu pula untuk fakir miskin yang mungkin membutuhkan porsi lebih besar karena kondisi ekonomi yang sangat terbatas. Fleksibilitas dalam pembagian ini menunjukkan nilai-nilai kemanusiaan yang tinggi dalam ajaran Islam, sebagaimana Allah berfirman:
وَآتَى الْمَالَ عَلَى حُبِّهِ ذَوِي الْقُرْبَى وَالْيَتَامَى وَالْمَسَاكِينَ وَابْنَ السَّبِيلِ
Artinya: "Dan memberikan harta yang dicintainya kepada kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin, musafir (yang memerlukan pertolongan)" (QS. Al-Baqarah: 177).
Pembagian daging kurban merupakan bagian integral dari ibadah kurban yang tidak boleh diabaikan. Berdasarkan dalil-dalil Al-Quran dan hadits yang shahih, daging kurban dibagikan kepada tiga golongan utama: shohibul qurban beserta keluarganya, tetangga dan kerabat (termasuk non-Muslim), serta fakir miskin. Masing-masing golongan berhak mendapatkan sepertiga bagian, meskipun dalam praktiknya dapat disesuaikan dengan kebutuhan dan kondisi masing-masing penerima.
Ketentuan pembagian ini mengandung hikmah yang mendalam dalam membangun kehidupan bermasyarakat yang harmonis dan saling peduli. Melalui pembagian daging kurban, tercipta keseimbangan antara hak pribadi, hubungan sosial, dan tanggung jawab terhadap sesama yang membutuhkan. Pelaksanaan pembagian yang dilakukan dengan etika dan adab yang baik akan semakin memperkuat nilai-nilai kemanusiaan dan persaudaraan dalam masyarakat, sekaligus menjadikan ibadah kurban sebagai sarana mendekatkan diri kepada Allah SWT dan sesama manusia.