TEMPO.CO, Cirebon - Polisi telah menetapkan dua orang sebagai tersangka dalam tragedi longsor di pertambangan pasir Gunung Kuda, Kabupaten Cirebon, Jawa Barat. Diperkirakan jumlah korban dalam musibah itu lebih dari 20 orang. Hingga 1 Juni 2025, baru 19 korban ditemukan.
Salah satu tersangka adalah AK, 59 tahun, warga Desa Bobos, Kecamatan Dukupuntang, Kabupaten Cirebon. Dia merupakan pemilik pertambangan pasir di area Gunung Kuda, Desa Cipanas, Kecamatan Dukupuntang. Sedangkan satu tersangka lagi Adalah dan AR,35 tahun, sebagai pengawas operasioanal pertambangan. Dia tercatat sebagai warga Desa Girinata, Kecamatan Dukupuntang, Kabupaten Cirebon.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Untuk menjalankan usaha pertambangan itu, AK menggunakan badan hukum Koperasi Pondok Pesantren Al-Azhariyah. Kepala Dinas Energi dan Sumber Daya Mineral Jawa Barat Bambang Tirtoyuliono menjelaskan, koperasi itu mengantongi izin operasi produksi yang dimulai 2020 dan berakhir 5 November 2025.
Dokumen Rencana Kerja dan Anggaran Biaya (RKAB ) tambang sebagai dasar untuk melaksanakan kegiatan pertambangan juga telah ada. Dokumen RKAB wajib diperpanjang setiap tahun. Namun sejak 2024, pemerintah tidak memperpanjang dokumen tersebut. “Sudah diingatkan berkali-kali bahkan terakhir di 19 Maret 2025 kami sudah minta dihentikan kegiatannya,” kata Bambang. Hingga akhirnya pada 30 Mei 2025 terjadi longsor yang memakan korban jiwa.
Kepala Kepolisian Resor Kota Cirebon Komisaris Besar Sumarni mengatakan, berdasarkan dokumen yang menjadi barang bukti, Kantor Cabang Dinas ESDM Wilayah VII Cirebon mengeluarkan dua surat resmi untuk melarang aktivitas penambangan pasir di Gunung Kuda. “Surat larangan pertama dikeluarkan pada 6 Januari 2025 dan yang kedua pada 19 Maret 2025 yang ditujukan untuk Koperasi Pondok Pesantren Al-Azhariyah pemegang Izin Usaha Pertambangan,” kata Sumarni, Ahad, 1 Juni 2025.
AK tetap memerintahkan AR untuk menjalankan operasional penambangan tanpa memperhatikan keselamatan dan kesehatan kerja (K3). Atas dasar itu polisi menjerat mereka menggunakan pasal berlapis, di antaranya Pasal 98 ayat (1) dan (3) serta Pasal 99 ayat (1) dan (3) UU No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup dengan ancaman pidana penjara hingga 15 tahun dan denda maksimal Rp 15 miliar. Mereka juga dijerat pasal 35 ayat (3) jo Pasal 186 UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan sebagaimana diubah UU No. 6 Tahun 2023, dengan ancaman hukuman maksimal 4 tahun penjara.